Senin, 16 Mei 2011

HIRABAH dalam tinjauan fiqh jinayah

MAKALAH FIQH JINAYAH
“JARIMAH HIRABAH
 (PERAMPOKAN)”

 





DISUSUN OLEH :
JUARSIH





PRODI AKHWAL AS-SYAKHSIYAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PAREPARE
2010

PENDAHULUAN      
A.   Latar Belakang
Pada dasarnya, manusia adalah makluk ciptaan tuhan yang mempunyai berbagai keperluan dalam kehidupannya. Setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki fitrah yang telah dianugerahkan oleh Sang Khaliq, Allah SWT. Hal itu sudah lazim dimiliki oleh manusia sebagai sifat manusiawi, baik fitrah biologis (makan, minum), fitrah rohaniah (rasa untuk memiliki, kasih sayang, cinta,  bersenang-senang), maupun fitrah sosiologis (rasa kebersamaan) dan lain sebagainya.
Fitrah manusia tersebut ketika sampai pada puncaknya akan memberikan dampak negatif ketika tidak dapat diolah dan dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam kehidupannya, disamping kurangnya keimanan dalam dirinya dan fitrahnya pun tidak dapat terkontrol lagi akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya fitrah ingin cepat kaya, dengan cara ia melakukan pencurian, korupsi, penipuan, perampokan dan lain-lainnya.
Perbuatan-perbuatan tersebut dalam dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Dalam hukum Islam disebut dengan Jinayah. Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi hukum. Perampokan dalam hukum pidana Islam termasuk perkara hudud. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya dalam hukum islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud memaparkan berbagai hal, khususnya mengenai perampokan dan jarimahnya sebagai bahan perbandingan hukum dengan hukum lainnya.     
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka akan dirumuskan masalah sebagai berikut :
a.       Apa definisi dan hukum dari perampokan (hirabah)?
b.      Apa sajakah syarat-syarat dijatuhkannya hukuman bagi pelaku perampokan?
c.       Bagaimana sanksi bagi pelaku perampokan?
d.      Mengapa hukuman perampokan dapat terhapus?
e.       Perampokan dalam tinjauan hukum pidana /KUHP? 
PEMBAHASAN

A.   Definisi dan Hukum Perampokan (hirabah)
Hirabah berasal dari kata Harb yang artinya perang. Menurut buku Fiqh Sunnah jilid 9 karya Sayyid Sabiq, Hirabah adalah keluarnya gerombolan bersenjata didaerah islam untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang baik gerombolan tersebut dari orang islam sendiri maupun kafir Dzimmi atau kafir Harbi.
Menurut buku yang berjudul Tindak Pidana dalam Syariat Islam karya Prof.Abdur Rahman I Doi Ph.D, Hirabah adalah suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh satu kelompok atau seorang bersenjata yang mungkin akan menyerang musafir atau orang yang berjalan dijalan raya atau ditempat manapun dan mereka merampas harta korbannya dan apabila korbannya berusaha lari dan mencari atau meminta pertolongan maka mereka akan menggunakan kekerasan.
Sedangkan menurut buku Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam) karya Prof.Drs.H.A.Djazuli, Hirabah adalah suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan. Jadi, Hirabah itu adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata/alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan oleh satu orang ataupun berkelompok tanpa mempertimbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan.
Dalam teknis operasional Hirabah ini ada beberapa kemungkinan yaitu:
  1. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan mengadakan intimidasi, namun ia tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh,
  2. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan kemudian mengambil harta termaksud tetapi tidak membunuh,
  3. Seseorang berangkat dengan niat merampok kemudian membunuh tetapi tidak mengambil harta korban,
  4. Seseorang berangkat untuk merampok kemudian pelaku mengambil harta dan membunuh pemiliknya.
AlQur’an menjelaskan bahwa perampokan itu merupakan suatu dosa besar, dan dasar hukum Hirabah adalah Q.S.Al-Maidah:33;
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah (mereka) dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara silang, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka didunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang berat”
Selain dari itu Rasulullah SAW juga melaknat bahwa pelaku Hirabah tidak pantas mengaku sebagai seorang Islam. Sabda Rasulullah SAW:
سن حمل علينا السلا ح فليس منا
Artinya:
“Barang siapa membawa senjata untuk mengacau kita, maka bukanlah mereka termasuk umatku!” (H.R.Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
Pembuktian perampokan bisa dengan saksi, yaitu dua orang saksi laki-laki dan bisa juga dengan pengakuan.
B.   Syarat-Syarat Hirabah yang dapat dijatuhi Hukuman
Untuk menjatuhi hukuman kepada pelaku Hirabah terdapat beberapa syarat, yaitu:
  1. Pelaku Hirabah Adalah Orang Mukallaf
Mukallaf adalah syarat untuk dapat ditegakkan suatu had padanya. Kemudian mukallaf adalah orang yang berakal dan dewasa. Anak kecil dan orang gila tidak tidak bisa dianggap sebagai pelaku Hirabah yang harus di had,  meskipun ia terlibat dalam sindikat hirabah. Karena anak kecil dan orang gila tidak bisa dibebani atau dihukum menurut syara.
  1. Pelaku Hirabah Membawa Senjata
Untuk dapat menjatuhkan had Hirabah disyaratkan pula bahwa dalam melancarkan Hirabah pelakunya terbukti membawa senjata, karena senjata itulah yang merupakan kekuatan yang diandalkan olehnya dalam melancarkan Hirabah. Bila pelaku tidak menggunakan atau membawa senjata maka tindakannya tidak bisa dikatakan Hirabah. Abu Hanifah mengatakan bahwasannya tindakan yang hanya bersenjatakan batu dan tongkat itu tidak di hukumi sebagai tindakan hirabah.
  1. Lokasi Hirabah Jauh Dari Keramaian
Sebagian ulama mengatakan bahwa lokasi Hirabah harus ditempat yang jauh dari keramaian (daerah padang pasir), sebab apabila terjadi tindak kejahatan di tempat keramaian maka korban bisa meminta pertolongan sehingga kekuatan pelaku kejahatan dapat dipatahkan. Tetapi sebagian ulama juga mengatakan bahwa tindak kejahatan di tempat padang dan di tempat keramaian sama saja bernama Hirabah. Karena ayat mengenai Hirabah (QS. al-Maidah :33) secara umum menyangkut segala Hirabah baik di tempat yang jauh dari keramaian( daerah padang) ataupun di tempat keramaian.
  1. Tindakan Hirabah secara terang-terangan
Tindakan Hirabah harus dilakukan secara terang-terangan sesungguhnya tidak dapat dikatakan Hirabah apabila dilakukan secara sembunyi-sembunyi adapun suatu tindak kejahatan secara sembunyi-sembunyi itu dinamakan dengan mencuri. Bila pelaku merebut harta kemudian melarikan diri maka itu disebut dengan penjambret atau perampas.
C.   Sanksi bagi Pelaku Perampokan
Sanksi perampokan yang ditentukan dalam AlQur’an ada empat macam yaitu:
  1. Dibunuh,          
  2. Disalib,
  3. Dipotong tangan dan kakinya secara silang,
  4. Dibuang dari negeri tempat kediamannya.
Adapun pengklasifikasian jenis sanksi atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, para ulama berbeda pendapat.
D.  Hapusnya hukuman
Hukuman Hirabah dapat hapus karena tobat sebelum berhasil dibekuk dan sebab-sebab yang menghapuskan hukuman pada kasus pencurian yakni:
  1. Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam persaksiannya,
  2. Pelaku menarik kembali pengakuannya,
  3. Mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke sidang, (Menurut Imam Abu Hanifah)
  4. Dimilikinya harta yang dicuri itu dengan sah oleh pencuri sebelum diajukan ke pengadilan. (Menurut Imam Abu Hanifah)
Sebagaimana firman Allah SWT tentang sindikat Hirabah yang mengadakan pengerusakan diatas bumi kemudian mereka bertobat sebelum sindikat itu dibekuk maka Allah SWT sesungguhnya akan mengampuni atas apa yang telah dilakukan oleh sindikat itu dan mereka tidak akan dijatuhi hukuman Hirabah. Firman Allah SWT Q.S.Al-Maidah:33-34
Artinya:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan diatas bumi, hanyalah mereka dibunuh atau salib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai penghinaan untuk mereka didunia dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang tobat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Tobatnya sindikat Hirabah sebelum mereka dapat dibekuk adalah merupakan suatu pertanda mereka mulai sadar, insyaf, dan memiliki maksud hendak memperbaiki hidupnya menjadi bersih, dan menjauhi pengerusakan diatas bumi dengan jalan Hirabah.
Mengenai masalah tobatnya para pelaku Hirabah ini, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah Al Mujtahid memberi ulasan akan apa yang dapat digugurkan oleh tobat, para ulama masih berbeda pendapat satu sama lain dan perbedaan itu dikategorikan menjadi empat kelompok yaitu:
  1. Tobat hanya dapat menggugurkan hadd hirabah saja. Sedangkan hak-hak Allah SWT dan manusia lainnya tetap dituntut. (Pendapat Malik)
  2. Tobat dapat menggugurkan hadd Hirabah dan semua hak Allah SWT, seperti hak dan tuntutan terhadap perbuatan zina, meminum minuman keras, dan sebagainya. Sedangkan hak manusia tetap dituntut kecuali bila pihak korban telah memaafkan.
  3. Tobat menggugurkan semua hak Allah, tetapi tetap dituntut hak manusia dalam kasus pembunuhan dan perampasan harta yang masih ada pada pelaku Hirabah.
  4. Tobat menggugurkan semua hak manusia, baik dalam kasus pembunuhan maupun perampasan harta, kecuali harta yang masih ada pada pelaku Hirabah.
            Adapun syarat-syarat bertobat adalah harus tobat lahir dan batin. Fiqh hanya dapat menyoroti lahirnya saja. Karena tidak ada yang mengetahui batin kecuali Allah SWT dan bila pelaku Hirabah bertobat sebelum dibekuk maka tobatnya akan diterima. Dan wajiblah atas imam untuk menerima kedatangan pelaku hirabah yang bertobat sebelum dibekuk.
E.        Perampokan dalam tinjauan Hukum Pidana /KUHP
Perampokan adalah suatu tindakan yang menyimpang. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M. Z. Lawang penyimpangan perilaku adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sitem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Dalam Pasal 362 KUHP dikatakan “pengambilan suatu barang, yang seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian”. Dengan demikian perampokan juga dapat dikatakan sebagai pencurian atas suatu barang.
Perampokan memang sangat berbeda dengan pencurian. Namun substansi yang ada dalam perampokan sama dengan pencurian. Letak perbedaan keduanya pada teknis dilapangan, perampokan adalah tindakan pencurian yang berlangsung saat diketahui sang korban, sedangkan pencurian identik dilakukan saat tidak diketahui korban.

Hukuman bagi pelaku perampokan
Apabila terdapat kasus perampokan murni kemudian terdapat juga tindak pidana pembunuhan didalamnya, maka sanksi pidana yang dijatuhkan dapat berupa sanksi maksimal. Perampokan tersebut telah memenuhi unsur dalam pasal 365 KUHP sebagaimana termaktub di bawah ini.
Pasal 365 :
Ayat (1),  diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
Ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
1.         jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;
2.       jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3.       jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
4.        jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
Ayat (3), Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tuhun.
Ayat (4), diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Selain itu, ada pula Pasal 362 ;“Barangsiapa mengambil sesuatu, yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”
Pasal 365, Pasal 170 dan Pasal 340 KUHP, maksimal 15 tahun penjara dikarenakan merampok sambil membunuh.
Pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku dilihat dari kemampuannya terlebih dahulu. Hukum pidana Indonesia dalam hal pertanggungan jawab menganut system fiktif, artinya menurut hukum Indonesia, setiap pelaku perbuatan pidana pada dasarnya selalu dianggap sebagai orang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. Pengecualian dari system fiktif tersebut terdapat pada pasal 44 KUHP, dengan kata lain dianggap tidak mampu bertanggung jawab, yaitu apabila : 1) Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, 2) Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh penyakit, sehingga akalnya kurang berfungsi membedakan yang baik dan yang buruk, seperti orang gila atau epilepsy.
Ketentuan pidana terhadap delik perampokan menurut Hukum positif (KUHP) adalah berupa hukuman penjara yang lamanya disesuaikan dengan bentuk delik yang dilakukan, maksimal 20 tahun penjara, atau seumur hidup atau pidana mati, tetapi Hukuman mati jarang diterapkan karena masih banyak kontroversi para ahli hukum. Disini hakim mempunyai peran penting dalam menentukan hukumannya, baik mengenai berat ringannya hukuman maupun lamanya hukuman.
Pada Hukum Pidana Islam delik perampokan dapat dikategorikan dalam jarimah hirabah, yang mempunyai pengertian adanya suatu aksi kekerasan dengan maksud mengambil harta orang lain secara melawan hukum, yang dilakukan dimana saja dan secara perorangan maupun kelompok. Sedang berdasar pada Hukum positif (KUHP) perampokan dikategorikan dalam delik pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam pasal 365 KUHP yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan aksinya.











KESIMPULAN
v  Definisi dan Hukum Pemberontakan (hirabah)
adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata/alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan oleh satu orang ataupun berkelompok tanpa mempertimbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan.
v  Syarat-Syarat Hirabah yang dapat dijatuhi Hukuman
1.       Mukallaf
2.       Membawa Senjata
3.       Lokasi Hirabah Jauh Dari Keramaian
4.       Tindakan Hirabah secara terang-terangan

v  Sanksi bagi Pelaku Perampokan
1.      Dibunuh,         
2.      Disalib,
3.      Dipotong tangan dan kakinya secara silang,
4.      Dibuang dari negeri tempat kediamannya
v  Hapusnya hukuman
1.      Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam persaksiannya,
2.      Pelaku menarik kembali pengakuannya,
3.      Mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke sidang,
4.      Dimilikinya harta yang dicuri itu dengan sah oleh pencuri sebelum diajukan ke pengadilan.
v  Perampokan dalam tinjauan Hukum Pidana /KUHP
Berdasar pada Hukum positif (KUHP) perampokan dikategorikan dalam delik pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam pasal 365 KUHP yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan aksinya.






DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. 1997. Fiqih Jinayah. Jakarta : Rajawali Pers.
Muhammad Uwaidah, Syaikh Kamil. 1998. Fiqih Wanita. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Rahman, Abdur. 1404 H. Tindak Pidana dalam Syari’at Islam,Hudud dan Kewarisan. Radja Grafindo: Jakarta.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqih Sunnah 3. Jakarta : Pena Pundi Aksara.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta : Gema Insani Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda
Bagaimana pendapat anda tentang artikel yang saya tulis di atas? Silahkan tulis komentarnya disini...