Senin, 16 Mei 2011

SYURB AL-KHAMAR




PENDAHULUAN
                                                             
A.     Latar Belakang
Di dalam syariat Islam, manusia diajarkan untuk menjaga amanah yang dianugrahkan Allah SWT kepadanya. Tubuh kita merupakan salah satu amanah yang dititip oleh Allah SWT yang mana manusia diajarkan untuk menjaga dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Salah satu cara untuk menjaga dan memelihara amanah tersebut ialah dengan menjaga kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Makanan dan minuman yang masuk kedalam tubuh haruslah diperhatikan. Untuk itulah, kita harus menimbang manfaat dan mudhoratnya suatu makanan atau minuman yang akan masuk kedalam tubuh kita.
Khamar adalah salah satu minuman yang mempunyai lebih banyak mudhorat ketimbang manfaat. Dan hal ini pun telah menjadi hal yang sharih dalam hukum Islam bahwa meminum khamar hukumnya haram meskipun dahulu pernah dibolehkan. Oleh karena itu, manusia sebaiknya menghindari meminum khamar supaya kita terhindar dari bahaya yang mengancam dan syariat pun akan tetap dijalankan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penulis bermaksud memaparkan berbagai hal mengenai khamar dan jarimahnya.     
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka akan dirumuskan masalah sebagai berikut :
a.       Apa pengertian dari meminum khamar dan Bagaimana pula proses diharamkannya khamar?
b.      Apa saja unsur-unsur jarimah minum khamar?
c.       Apa saja alat bukti minum khamar?
d.      Bagaimana hukuman bagi peminum khamar, baik menurut hukum Islam maupun hukum Nasional?







PEMBAHASAN

A.     Pengertian Minum Khamar dan Proses Diharamkannya Khamar.
Minum khamr (Syurb khamr) diambil dari kata (بش ), yang artinya minum. Dan kata khamr (رومخا), yang artinya arak atau minuman keras. Sedang minum khamr (syurb khamr) menurut istilah adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain yang halal. Sedang orang yang meminum arak dinamakan (شاربي الخمور), yang artinya peminum.[1]
Khamr berasal dari kata yang berarti menutupi. Di sebut sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal Sedangkan menurut pengertian urfi pada masa itu, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur.[2] Sedangkan dalam pengertian syara’, khamr tidak terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan dan tidak terbatas dari perasan anggur saja.
Ulama agama mengatakan bahwa hukum meminum khamar adalah haram karena khamar menjadi induk segala kekejian dan kejahatan. Ahli kedokteran mengatakan bahwa khamr merupakan bahaya paling besar yang dapat menghancurkan kehidupan manusia. Khamar membuka jalan masuknya penyakit yang sangat kronis, yakni penyakit TBC.[3]
Di sisi lain, khamar juga dapat melemahkan dan mengurangi kekebalan tubuh, dapat berefek buruk bagi seluruh anggota tubuh, khususnya hati, serta dapat menyerang seluruh saraf. Karena itu, tidak mengherankan lagi bahwa khamar merupakan faktor terbesar yang menjadi sebab adanya penyakit saraf, selain juga merupakan faktor terbesar penyakit dan faktor terjadinya kesengsaraan dan kriminalitas.
Para ahli akhlak (etika) mengatakan bahwa agar manusia dapat menjaga ketenangan, kesucian, kemuliaan, kehormatan, dan harga dirinya, mereka harus menghindari semua hal yang memabukkan, termasuk khamar. Hal ini karena khamar dapat menghilangkan sifat-sifat terpuji tadi. Para ahli ekonomi mengatakan bahwa setiap dirham (uang) yang kita keluarkan untuk kepentingan kita, secara otomatis menjadi kekuatan diri dan bangsa kita,maka hal itu sama saja dengan kerugian dan kemunduran diri dan bangsa kita. Jika begitu, lalu bagaimana halnya dengan jutaan uang yang dikeluarkan tanpa manfaat untuk mengomsumsi khamar dan segala jenisnya yang dapat membuat kondisi keuangan kita terbelakang, menghilangkan harga diri dan kehormatan kita.[4]
Berdasarkan bukti-bukti bahaya khamar yang diungkapkan para ulama dan ahli diatas, kita dapat melihat bahwa akal sehat menuntut agar kita tidak mengomsumsi khamar.    
Syariat Islam mengharamkan khamar sejak 14 abad yang lalu dan hal ini berkaitan dengan penghargaan Islam terhadap akal manusia yang merupakan anugerah Allah yang harus dipelihara sebaik-baiknya dan sekarang mulai orang non-muslim menyadari akan manfaat diharamkannya khamr dan sebagainya (penyalahgunaan narkotika, ganja) membawa mudharat bagi bangsa.
Al-Qur’an diturunkan kepada masyarakat jahiliah yang memiliki kebiasaan minum khamar, mabuk-mabukan dan untuk mengubah kondisi yang demikian ditempuh dengan cara at-tadrij (bertahap) :[5]
1.      Dinyatakan bahwa khamr dan maisilz (judi) itu mengandung dosa besar meskipun mengandung manfaat bagi manusia, akan tetapi mudhoratnya lebih besar daripada manfaatnya. (al-Baqarah : 219)
2.      Dinyatakan bahwa tidak boleh melaksanakan sholat dalam keadaan mabuk. (an-Nisaa : 43)
3.      Tegas-tegas dinyatakan bahwa khamr itu salah satu perbuatan setan dan karenanya harus dijauhi. (al-Maidah : 90-91)
Adapun dari hadits Nabi banyak sekali, diantaranya sebagai berikut :
“Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram”.(HR Imam Abu Dawud dari Ibnu Umar)
“Sesuatu yang bila banyak memabukkan, maka sedikitnya pun haram”.(HR. Ahmad dan Arba’ah)
“Dalam persoalan khamr ada sepuluh orang yang dikutuk karenanya, yaitu produsen (pembuatnya), distributor(pengedarnya), peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya, pembelinya, dan pemesannya.” (HR Ibnu Majah dan at-Tirmidzi dari Anas bin Malik).
Para fuqaha berbeda pendapat dalam mengartikan minum khamr. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad yang dimaksud dengan khamr itu adalah minum-minuman yang memabukkan, baik disebut khamr maupun tidak. Menurut Imam Abu Hanifah berbeda antara minuman khamr dan mabuk. Beliau mengharamkan minum khamr baik sedikit  maupun banyak. Adapun minuman lain yang memabukkan dan bukan merupakan khamr menurut beliau disebut sebagai minuman yang memabukkan. Menurutnya, minuman memabukkan selain khamr, keharamannya lidzatihi maka yang haram adalah minum terakhir yang membawa kemabukan.
Tampaknya, pendapat Imam Malik, Imam Syafi’I, dan  Imam Ahmad lah yang diikuti oleh dunia Islam, yakni bahwa minum khamr atau minuman lain yang memabukkan adalah haram, banyak maupun sedikit.
Adapun minuman keras menurut terminologi KUHP, yaitu
Istilah minuman keras (miras) dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni pasal 537, pasal 538 dan 539. Dalam penjelasan pasal 300 KUHP, ada penjelasan antara lain, tanda-tandanya orang yang telah mabuk adalah dari mulutnya keluar nafas yang berbau alkohol (minuman keras).
Sebagaimana diketahui, KUHP adalah bagian dari hukum positif yang berlaku berdasar Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, kemudian disusul Undang-Undang No.73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonsia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Miras, juga digunakan dalam Undang-Undang No.9 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Kesehatan, pasal 11 ayat (2). Dengan demikian, miras sudah sejak lama dikenal dan telah menjadi bahasa atau istilah yang lebih memasyarakat dan lebih umum daripada istilah "minuman beralkohol". Dan minuman keras itu adalah minuman yang mengandung alkohol. Beberapa jenis minuman keras yang dikenal dengan berbagai merk, antara lain Jenewer,Topi Miring, Brandy, Whisky, dsbnya.
S.R. Sianturi, SH dalam bukunya "KUHP Berikut Uraiannya", Penerbit Alumni Ahaem - Petehaem, Jakarta, 1989, Cetakan ke-2, h.340, menjelaskan sbb (diringkas):
"Yang dimaksud minuman yang memabukkan adalah minuman yang dibubuhi alkohol sekian persen, yang jika ia diminum dapat membuat salah satu atau beberapa pancaindera tidak berfungsi secara normal untuk sementara waktu. Ciri-ciri seseorang yang mabuk:
·      Nafasnya berbau alkohol dan jika diadakan pemeriksaan darah, juga pada darah itu terdapat kadar alkohol.
·      Perasaannya dan ingatannya tidak normal yang karenanya jika ia berbicara ia ngawur.
·      Tidak dapat mengendalikan fisiknya, karenanya jika ia berjalan akan goyah-gontai atau jatuh terbaring. Disebabkan kadar gula pada otot berkurang, karena pembakaran.
Biasanya seseorang yang sudah mabuk dia semakin bernafsu meminum minuman keras itu sampai ia tak sadarkan diri. Dari penjelasan tersebut, kita dapat menarik sebuah pemahaman betapa dasyatnya akibat-akibat yang ditimbulkan dari minuman beralkohol itu, baik bagi jasmani maupun rohani seseorang yang meminum minuman keras itu. Dari sinilah lalu timbul sebuah terminologi "minuman keras". saking kerasnya, hingga menimbulkan kerusakan fisik dan psikis bagi orang yang meminumnya.
B.     Unsur-unsur Jarimah Minum Khamar.
Ada 2 unsur dalam jarimah minum khamr, yaitu minum-minuman yang memabukkan dan ada i’tikad jahat.
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa ketiga imam madzhab yaitu Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad mengharamkan minuman khamr dan minuman lain yang memabukkan, baik sedikit maupun banyak dan baik mabuk ataupun tidak. Jadi, dengan minum itu sendiri sudah merupakan jarimah. Disyaratkan benda yang memabukkan itu berupa minuman, namun selain minuman tetap haram dan  hukumannya adalah ta’zir.
Yang dimaksud dengan minum adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan,meskipun bercampur dengan makanan lain yang halal
Adapun yang dimaksud dengan mabuk menurut Imam Abu Hanifah adalah hilangnya akal, baik sedikit, maupun banyak sehingga tidak dapat membedakan mana langit dan mana bumi.
Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan mabuk adalah seperti perkataan orang yang mengigau, tidak lagi keluar dengan dengan kesadaran sehingga ia tidak tahu apa yang telah dikatakannya. Sesuai dengan firman Allah SWT :


 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu katakan.” (QS. an-Nisaa: 43)
Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad.
Yang dimaksud dengan ada I’tikad jahat adalah sudah tahu bahwa minuman yang memabukkan itu haram, tetapi tetap diminum juga.
Oleh karena itu, tidak dikenai sanksi seseorang yang minum khamr atau minuman lain yang memabukkan sedangkan ia tidak tahu bahwa yang  diminum itu adalah minuman yang memabukkan atau tidak tahu bahwa minuman itu adalah haram.
C.      Alat Bukti Minum Khamar.
Alat bukti dalam minum khamr adalah sebagai berikut :[6]
  1. Persaksian, jumlah saksi adalah dua orang laki-laki atau empat orang wanita. Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, saksi harus mencium bau minuman yang memabukkan ketika menyaksikannya.
  2. Pengakuan dari peminum, pengakuan ini cukup satu kali saja.
  3. Bau mulut, menurut Imam Maliki bau mulut orang meminum minuman yang memabukkan dapat dianggap sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah meminum khamr.
  4. Mabuk, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mabuk dapat dianggap sebagai alat bukti minum khamr. Sedang Imam Syafi’i tidak demikian, karena mabuk itu memberi banyak kemungkinan, terutama dipaksa atau terpaksa.
  5. Muntah, menurut Imam Maliki beranggapan bahwa muntah dapat dijadikan sebagai bukti minum khamr. Hal ini pernah dilakukan ketika Usman bin Affan ra menjatuhkan hukuman dera bagi orang yang muntah-muntah akibat meminum khamr.
D.     Hukuman bagi Peminum Khamar, baik menurut hukum Islam maupun hukum Nasional.
ü  Menurut hukum Islam
Al-qur’an tidak menegaskan hukuman apa bagi peminum khamr, namun sanksi dalam kasus ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yakni sunah fi’liyahnya, bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah didera sebanyak 40 kali. Abu Bakar as-Sidiq ra mengikuti jejak ini, Umar bin Khatab ra 80 kali dera sedang Ali bin Abu Thalib ra 40 kali dera.[7]
Alasan penetapan 80 kali dera didasarkan pada metode analogi, yakni dengan mengambil ketentuan hukum yang ada di dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 4:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan terhormat (berbuat zina), kemudian itu tidak mengemukakan empat saksi, maka hendaklah mereka didera delapan puluh kali deraan, dan janganlah diterima kesaksian dari mereka selama-lamanya. Itulah orang-orang fasik.”
Bahwa orang yang menuduh zina didera 80 kali. Orang yang mabuk biasanya mengigau, jika mengigau suka membuat kebohongan, orang bohong sama dengan orang membuat onar atau fitnah. Fitnah dikenai hukuman 80 kali dera. Maka orang yang meminum khamr didera 80 kali.[8]
Disamping itu pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab ra banyak orang yang meminum khamr, dan hal mengenai dera 80 kali sudah berdasarkan hasil musyawarah antara Umar bin Khathab ra dengan para shahabat yang lain, yakni atas usulan Abdurrahman bin ‘Auf.
Adapun menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Maliki sanksi peminum khamr adalah 80 kali dera. Sedang Imam Syafi’i  adalah 40 kali dera, akan tetapi Imam boleh menambah menjadi 80 kali dera. Jadi 40 kali adalah hukuman had, sedang sisanya adalah hukuman ta’zir.[9]
Syarat Diberlakukannya Hudud Peminum Khamar
Namun para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlaksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud.
3. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang dipaksa.
4. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa mati bila tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga pelakunya dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
5. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah khamar, maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
Khamr adalah benda. Sedangkan hukum benda tidak terlepas dari dua hal, yaitu halal atau haram. Selama tidak ada dalil yang yang mengharamkannya, hukum suatu benda adalah halal. Karena ada dalil yang secara tegas mengharamkannya, maka hukum khamr itu haram.
Hukum syara’ adalah seruan syari’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Sehingga, meskipun hukum syara’ menentukan status hukum benda, tetap saja akan terkait dengan perbuatan manusia dalam menggunakannya. Misalnya, babi itu haram. Perbuatan apa saja yang diharamkan berkenaan dengan babi? Apakah memakannya, menjualnya, menternakkannya, memegangnya, melihatnya, atau bahkan membayangkannya hukumnya juga haram? Untuk mengetahui hukum-hukum perbuatan yang berkenaan dengan benda tidak cukup hanya melihat dalil tentang haramnya benda, tetapi harus meneliti dalil-dalil syara’ yang menjelaskan perbuatan yang berkenaan dengan benda tersebut.
Pelaksanaan had bagi peminum khamr sama dengan pelaksanaan dera pada jarimah lainya. Namun dalam pelaksanaan tidak diperbolehkan disertai emosi atau dalam keadaan marah,[10] juga dalam mendera ketika eksekutor tidak boleh sampai kelihatan, sedang alat dera yang digunakan adalah pelepah daun kurma atau sejenisnya.
Dalam hukum hudud, seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah dipukul. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.
Dalam istilah fiqih disebut hukum hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.
Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
“Siapa yang minum khamar maka pukullah”.
Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka.
Di tingkat sahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.
Hukuman had bagi peminum khamr dapat dihapus atau dibatalkan apabila:
1. Para saksi menarik kesaksianya, apabila tidak ada bukti yang menguatkan.
2. Pelaku menarik kembali persaksiannya, karena tidak ada bukti yang menguatkan.
3. Kebenaran bukti-bukti masih dipertanyakan, atau masih diragukan kebenarannya.
Hukuman Had Bagi Syurb Khamr Sebagai Penghapus Dosa
Barang siapa berbuat pelanggaran lalu dihukum, maka hukuman tersebut adalah sebagai penebus atau penghapus dosanya, hal tersebut terdapat pada hadits Rasulullah saw sebagai mana berikut, yang artinya:
“Ubadah ibn sh-Shamit ra mengatakan bahwa Rasulullah saw menegaskan larangan kepada para shahabat sebagaimana larangan kepada wanita yaitu: tidak boleh menyekutukan sesuatu dengan Allah swt, tidak boleh mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh membunuh anak-anak dan tidak boleh saling membohongi. Maka barang siapa konsisten dalam menghindari larangan itu, maka Allah swt yang menanggung pahalanya. Barang siapa melakukan pelanggaran lalu dilaksanakan hukuman padanya, maka hukuman tersebut menjadi penghapus dosanya. Barang siapa melakukan pelanggaran lalu ditutupi oleh Allah swt, maka urusannya terserah kepada Allah swt. Jika Allah swt menghendaki, maka Dia menyiksanya, dan jika Dia menghendaki, maka Dia mengampuninya.[11]
ü  Menurut hukum nasional ( KUHP )
Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) [12]secara jelas dinyatakan bahwa warga negara Indonesia tidak dibenarkan mengkonsumsi minuman keras termasuk yang mengandung alkohol.
Pasal 492.
(s.d. u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu-lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keselamatan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu terlebih dahulu supaya jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Bila pada waktu melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, atau karena hal yang disebutkan dalam pasal 536, dijatuhkan pidana kurungan paling lama dua minggu. (KUHP 45, 307 dst., 361, 536.)
Pasal 536.
(s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa berada dijalan umum dalam keadaan mabuk, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
Bila pada waktu melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang diterangkan dalam pasal 492, maka pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari. Bila terjadi pengulangan kedua dalam satu tahun setelah pemidanaan pertama berakhir dan menjadi tetap, maka dikenakan pidana kurungan paling lama dua minggu. Pada pengulangan ketiga atau lebih dalam satu tahun, setelah pemidanaan yang kemudian karena pengulangan kedua atau lebih menjadi tetap, dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (KUHP 45, 300, 492.)
Pasal 537.
(s.d. u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa menjual atau memberikan minuman keras atau arak di luar kantin tentara kepada anggota Angkatan Bersenjata di bawah pangkat letnan atau kepada istri, anak atau pelayannya, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi seribu lima ratus rupiah. (KUHP 300, 538.)
Pasal 538.
(s.d.u. dg. UU No. 18/prp/1960.) Penjual minuman keras atau wakilnya yang pada waktu menjalankan pekerjaannya itu memberikan atau menjual minuman keras atau arak kepada seorang anak di bawah umur enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi seribu lima ratus rupiah. (KUHP 300, 537.)
Pasal 539.
(s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa menyediakan secara cuma-cuma minuman keras atau arak atau menjanjikan sebagai hadiah pada waktu diadakan pesta keramaian untuk umum atau pertunjukan rakyat atau pada waktu diselenggarakan pawai untuk umum, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua belas hari atau pidana denda paling tinggi tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.





KESIMPULAN
v  Syurb khamr adalah memasukkan minuman yang memabukkan ke mulut lalu ditelan masuk ke perut melalui kerongkongan, meskipun bercampur dengan makanan lain yang halal. Adapun segala sesuatu yang memabukkan dinamakan khamr, dan meminumnya dihukumi haram.
v  Ada dua unsur dalam jarimah minum khamar, yaitu minum-minuman yang memabukkan dan ada i’tikad jahat.
v  Alat bukti minum khamar ialah persaksian, pengakuan minum, bau mulut, mabuk, dan muntah.
v  Dalam syariat islam siapa saja yang meminum khamr akan mendapatkan hukuman, adapun hukuman tersebut berupa dera 40 kali atau 80 kali, jika amir atau penguasa menghendakinya. Adapun cara pelaksanaannya dilakukan oleh eksekutor yang sudah memenuhi syarat-syarat, juga alat yang digunakan adalah pelepah daun kurma atau sejenisnya.














DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. 1997. Fiqih Jinayah. Jakarta : Rajawali Pers.
Muhammad Uwaidah, Syaikh Kamil. 1998. Fiqih Wanita. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqih Sunnah 3. Jakarta : Pena Pundi Aksara.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta : Gema Insani Press.





[1] Adib Bisri dan Munawir, Kamus al-Bisri.
[2] Naillul Authar IV 57
[3] Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah 3, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2009), hal 190.
[4] Ibid
[5] H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta : Rajawali Pers, 1997), hal 95-96.
[6] Ibid, hal 100.
[7] Nasirudin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim (Kitab Hukuman Minum Khamr), hlm. 503
[8] Makhrus Munajat, Hukuman Pidana Islam di Indonesia, hlm. 161.

[9] Ibid, hlm. 161.
[10] Nasirudin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim(Kitab Hukuman Minuman Khamr), hlm.503
[11] Nasirudin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim (Kitab Hukuman Minum Khamr), hlm. 504.
[12] Lihat KUHP. 

HIRABAH dalam tinjauan fiqh jinayah

MAKALAH FIQH JINAYAH
“JARIMAH HIRABAH
 (PERAMPOKAN)”

 





DISUSUN OLEH :
JUARSIH





PRODI AKHWAL AS-SYAKHSIYAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PAREPARE
2010

PENDAHULUAN      
A.   Latar Belakang
Pada dasarnya, manusia adalah makluk ciptaan tuhan yang mempunyai berbagai keperluan dalam kehidupannya. Setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki fitrah yang telah dianugerahkan oleh Sang Khaliq, Allah SWT. Hal itu sudah lazim dimiliki oleh manusia sebagai sifat manusiawi, baik fitrah biologis (makan, minum), fitrah rohaniah (rasa untuk memiliki, kasih sayang, cinta,  bersenang-senang), maupun fitrah sosiologis (rasa kebersamaan) dan lain sebagainya.
Fitrah manusia tersebut ketika sampai pada puncaknya akan memberikan dampak negatif ketika tidak dapat diolah dan dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam kehidupannya, disamping kurangnya keimanan dalam dirinya dan fitrahnya pun tidak dapat terkontrol lagi akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya fitrah ingin cepat kaya, dengan cara ia melakukan pencurian, korupsi, penipuan, perampokan dan lain-lainnya.
Perbuatan-perbuatan tersebut dalam dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Dalam hukum Islam disebut dengan Jinayah. Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi hukum. Perampokan dalam hukum pidana Islam termasuk perkara hudud. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya dalam hukum islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud memaparkan berbagai hal, khususnya mengenai perampokan dan jarimahnya sebagai bahan perbandingan hukum dengan hukum lainnya.     
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka akan dirumuskan masalah sebagai berikut :
a.       Apa definisi dan hukum dari perampokan (hirabah)?
b.      Apa sajakah syarat-syarat dijatuhkannya hukuman bagi pelaku perampokan?
c.       Bagaimana sanksi bagi pelaku perampokan?
d.      Mengapa hukuman perampokan dapat terhapus?
e.       Perampokan dalam tinjauan hukum pidana /KUHP? 
PEMBAHASAN

A.   Definisi dan Hukum Perampokan (hirabah)
Hirabah berasal dari kata Harb yang artinya perang. Menurut buku Fiqh Sunnah jilid 9 karya Sayyid Sabiq, Hirabah adalah keluarnya gerombolan bersenjata didaerah islam untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang baik gerombolan tersebut dari orang islam sendiri maupun kafir Dzimmi atau kafir Harbi.
Menurut buku yang berjudul Tindak Pidana dalam Syariat Islam karya Prof.Abdur Rahman I Doi Ph.D, Hirabah adalah suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh satu kelompok atau seorang bersenjata yang mungkin akan menyerang musafir atau orang yang berjalan dijalan raya atau ditempat manapun dan mereka merampas harta korbannya dan apabila korbannya berusaha lari dan mencari atau meminta pertolongan maka mereka akan menggunakan kekerasan.
Sedangkan menurut buku Fiqh Jinayah (Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam) karya Prof.Drs.H.A.Djazuli, Hirabah adalah suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan. Jadi, Hirabah itu adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata/alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan oleh satu orang ataupun berkelompok tanpa mempertimbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan.
Dalam teknis operasional Hirabah ini ada beberapa kemungkinan yaitu:
  1. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan mengadakan intimidasi, namun ia tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh,
  2. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan kemudian mengambil harta termaksud tetapi tidak membunuh,
  3. Seseorang berangkat dengan niat merampok kemudian membunuh tetapi tidak mengambil harta korban,
  4. Seseorang berangkat untuk merampok kemudian pelaku mengambil harta dan membunuh pemiliknya.
AlQur’an menjelaskan bahwa perampokan itu merupakan suatu dosa besar, dan dasar hukum Hirabah adalah Q.S.Al-Maidah:33;
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah (mereka) dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara silang, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka didunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang berat”
Selain dari itu Rasulullah SAW juga melaknat bahwa pelaku Hirabah tidak pantas mengaku sebagai seorang Islam. Sabda Rasulullah SAW:
سن حمل علينا السلا ح فليس منا
Artinya:
“Barang siapa membawa senjata untuk mengacau kita, maka bukanlah mereka termasuk umatku!” (H.R.Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
Pembuktian perampokan bisa dengan saksi, yaitu dua orang saksi laki-laki dan bisa juga dengan pengakuan.
B.   Syarat-Syarat Hirabah yang dapat dijatuhi Hukuman
Untuk menjatuhi hukuman kepada pelaku Hirabah terdapat beberapa syarat, yaitu:
  1. Pelaku Hirabah Adalah Orang Mukallaf
Mukallaf adalah syarat untuk dapat ditegakkan suatu had padanya. Kemudian mukallaf adalah orang yang berakal dan dewasa. Anak kecil dan orang gila tidak tidak bisa dianggap sebagai pelaku Hirabah yang harus di had,  meskipun ia terlibat dalam sindikat hirabah. Karena anak kecil dan orang gila tidak bisa dibebani atau dihukum menurut syara.
  1. Pelaku Hirabah Membawa Senjata
Untuk dapat menjatuhkan had Hirabah disyaratkan pula bahwa dalam melancarkan Hirabah pelakunya terbukti membawa senjata, karena senjata itulah yang merupakan kekuatan yang diandalkan olehnya dalam melancarkan Hirabah. Bila pelaku tidak menggunakan atau membawa senjata maka tindakannya tidak bisa dikatakan Hirabah. Abu Hanifah mengatakan bahwasannya tindakan yang hanya bersenjatakan batu dan tongkat itu tidak di hukumi sebagai tindakan hirabah.
  1. Lokasi Hirabah Jauh Dari Keramaian
Sebagian ulama mengatakan bahwa lokasi Hirabah harus ditempat yang jauh dari keramaian (daerah padang pasir), sebab apabila terjadi tindak kejahatan di tempat keramaian maka korban bisa meminta pertolongan sehingga kekuatan pelaku kejahatan dapat dipatahkan. Tetapi sebagian ulama juga mengatakan bahwa tindak kejahatan di tempat padang dan di tempat keramaian sama saja bernama Hirabah. Karena ayat mengenai Hirabah (QS. al-Maidah :33) secara umum menyangkut segala Hirabah baik di tempat yang jauh dari keramaian( daerah padang) ataupun di tempat keramaian.
  1. Tindakan Hirabah secara terang-terangan
Tindakan Hirabah harus dilakukan secara terang-terangan sesungguhnya tidak dapat dikatakan Hirabah apabila dilakukan secara sembunyi-sembunyi adapun suatu tindak kejahatan secara sembunyi-sembunyi itu dinamakan dengan mencuri. Bila pelaku merebut harta kemudian melarikan diri maka itu disebut dengan penjambret atau perampas.
C.   Sanksi bagi Pelaku Perampokan
Sanksi perampokan yang ditentukan dalam AlQur’an ada empat macam yaitu:
  1. Dibunuh,          
  2. Disalib,
  3. Dipotong tangan dan kakinya secara silang,
  4. Dibuang dari negeri tempat kediamannya.
Adapun pengklasifikasian jenis sanksi atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, para ulama berbeda pendapat.
D.  Hapusnya hukuman
Hukuman Hirabah dapat hapus karena tobat sebelum berhasil dibekuk dan sebab-sebab yang menghapuskan hukuman pada kasus pencurian yakni:
  1. Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam persaksiannya,
  2. Pelaku menarik kembali pengakuannya,
  3. Mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke sidang, (Menurut Imam Abu Hanifah)
  4. Dimilikinya harta yang dicuri itu dengan sah oleh pencuri sebelum diajukan ke pengadilan. (Menurut Imam Abu Hanifah)
Sebagaimana firman Allah SWT tentang sindikat Hirabah yang mengadakan pengerusakan diatas bumi kemudian mereka bertobat sebelum sindikat itu dibekuk maka Allah SWT sesungguhnya akan mengampuni atas apa yang telah dilakukan oleh sindikat itu dan mereka tidak akan dijatuhi hukuman Hirabah. Firman Allah SWT Q.S.Al-Maidah:33-34
Artinya:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan diatas bumi, hanyalah mereka dibunuh atau salib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai penghinaan untuk mereka didunia dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang tobat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Tobatnya sindikat Hirabah sebelum mereka dapat dibekuk adalah merupakan suatu pertanda mereka mulai sadar, insyaf, dan memiliki maksud hendak memperbaiki hidupnya menjadi bersih, dan menjauhi pengerusakan diatas bumi dengan jalan Hirabah.
Mengenai masalah tobatnya para pelaku Hirabah ini, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah Al Mujtahid memberi ulasan akan apa yang dapat digugurkan oleh tobat, para ulama masih berbeda pendapat satu sama lain dan perbedaan itu dikategorikan menjadi empat kelompok yaitu:
  1. Tobat hanya dapat menggugurkan hadd hirabah saja. Sedangkan hak-hak Allah SWT dan manusia lainnya tetap dituntut. (Pendapat Malik)
  2. Tobat dapat menggugurkan hadd Hirabah dan semua hak Allah SWT, seperti hak dan tuntutan terhadap perbuatan zina, meminum minuman keras, dan sebagainya. Sedangkan hak manusia tetap dituntut kecuali bila pihak korban telah memaafkan.
  3. Tobat menggugurkan semua hak Allah, tetapi tetap dituntut hak manusia dalam kasus pembunuhan dan perampasan harta yang masih ada pada pelaku Hirabah.
  4. Tobat menggugurkan semua hak manusia, baik dalam kasus pembunuhan maupun perampasan harta, kecuali harta yang masih ada pada pelaku Hirabah.
            Adapun syarat-syarat bertobat adalah harus tobat lahir dan batin. Fiqh hanya dapat menyoroti lahirnya saja. Karena tidak ada yang mengetahui batin kecuali Allah SWT dan bila pelaku Hirabah bertobat sebelum dibekuk maka tobatnya akan diterima. Dan wajiblah atas imam untuk menerima kedatangan pelaku hirabah yang bertobat sebelum dibekuk.
E.        Perampokan dalam tinjauan Hukum Pidana /KUHP
Perampokan adalah suatu tindakan yang menyimpang. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M. Z. Lawang penyimpangan perilaku adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sitem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Dalam Pasal 362 KUHP dikatakan “pengambilan suatu barang, yang seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian”. Dengan demikian perampokan juga dapat dikatakan sebagai pencurian atas suatu barang.
Perampokan memang sangat berbeda dengan pencurian. Namun substansi yang ada dalam perampokan sama dengan pencurian. Letak perbedaan keduanya pada teknis dilapangan, perampokan adalah tindakan pencurian yang berlangsung saat diketahui sang korban, sedangkan pencurian identik dilakukan saat tidak diketahui korban.

Hukuman bagi pelaku perampokan
Apabila terdapat kasus perampokan murni kemudian terdapat juga tindak pidana pembunuhan didalamnya, maka sanksi pidana yang dijatuhkan dapat berupa sanksi maksimal. Perampokan tersebut telah memenuhi unsur dalam pasal 365 KUHP sebagaimana termaktub di bawah ini.
Pasal 365 :
Ayat (1),  diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
Ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
1.         jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;
2.       jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3.       jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
4.        jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
Ayat (3), Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tuhun.
Ayat (4), diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Selain itu, ada pula Pasal 362 ;“Barangsiapa mengambil sesuatu, yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”
Pasal 365, Pasal 170 dan Pasal 340 KUHP, maksimal 15 tahun penjara dikarenakan merampok sambil membunuh.
Pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku dilihat dari kemampuannya terlebih dahulu. Hukum pidana Indonesia dalam hal pertanggungan jawab menganut system fiktif, artinya menurut hukum Indonesia, setiap pelaku perbuatan pidana pada dasarnya selalu dianggap sebagai orang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. Pengecualian dari system fiktif tersebut terdapat pada pasal 44 KUHP, dengan kata lain dianggap tidak mampu bertanggung jawab, yaitu apabila : 1) Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, 2) Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh penyakit, sehingga akalnya kurang berfungsi membedakan yang baik dan yang buruk, seperti orang gila atau epilepsy.
Ketentuan pidana terhadap delik perampokan menurut Hukum positif (KUHP) adalah berupa hukuman penjara yang lamanya disesuaikan dengan bentuk delik yang dilakukan, maksimal 20 tahun penjara, atau seumur hidup atau pidana mati, tetapi Hukuman mati jarang diterapkan karena masih banyak kontroversi para ahli hukum. Disini hakim mempunyai peran penting dalam menentukan hukumannya, baik mengenai berat ringannya hukuman maupun lamanya hukuman.
Pada Hukum Pidana Islam delik perampokan dapat dikategorikan dalam jarimah hirabah, yang mempunyai pengertian adanya suatu aksi kekerasan dengan maksud mengambil harta orang lain secara melawan hukum, yang dilakukan dimana saja dan secara perorangan maupun kelompok. Sedang berdasar pada Hukum positif (KUHP) perampokan dikategorikan dalam delik pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam pasal 365 KUHP yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan aksinya.











KESIMPULAN
v  Definisi dan Hukum Pemberontakan (hirabah)
adalah suatu tindak kejahatan ataupun pengerusakan dengan menggunakan senjata/alat yang dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan oleh satu orang ataupun berkelompok tanpa mempertimbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak kekerasan.
v  Syarat-Syarat Hirabah yang dapat dijatuhi Hukuman
1.       Mukallaf
2.       Membawa Senjata
3.       Lokasi Hirabah Jauh Dari Keramaian
4.       Tindakan Hirabah secara terang-terangan

v  Sanksi bagi Pelaku Perampokan
1.      Dibunuh,         
2.      Disalib,
3.      Dipotong tangan dan kakinya secara silang,
4.      Dibuang dari negeri tempat kediamannya
v  Hapusnya hukuman
1.      Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam persaksiannya,
2.      Pelaku menarik kembali pengakuannya,
3.      Mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke sidang,
4.      Dimilikinya harta yang dicuri itu dengan sah oleh pencuri sebelum diajukan ke pengadilan.
v  Perampokan dalam tinjauan Hukum Pidana /KUHP
Berdasar pada Hukum positif (KUHP) perampokan dikategorikan dalam delik pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam pasal 365 KUHP yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan aksinya.






DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. 1997. Fiqih Jinayah. Jakarta : Rajawali Pers.
Muhammad Uwaidah, Syaikh Kamil. 1998. Fiqih Wanita. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Rahman, Abdur. 1404 H. Tindak Pidana dalam Syari’at Islam,Hudud dan Kewarisan. Radja Grafindo: Jakarta.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqih Sunnah 3. Jakarta : Pena Pundi Aksara.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta : Gema Insani Press.